Hai teman-teman …sudah lama tak jumpa, kangen juga nulis hehe ..insya Allah mulai sekarang kolom-kolom tulisan di blog omapud.com akan aktif kembali.

Nah disini akan ada informasi mengenai hokum jual beli mushaf Al Quran sebagimana yang dilansir oleh Koran Republika yang ditulis ulang oleh tim Syaamil Group, berikut ulasannya.

Pernah ada ungkapan “Jangan pernah menjual ayat dengan harga yang sedikit ! ” , namun pertanyaanya, bagaimana yang dijual ini Al Quran ??

Hehe ..maaf ini hanya bercanda, tapi yang terakhir ini bener,..bagaimana hukum menjual mushaf Al Quran ? apakah boleh ? Nah, ditulisan kali ini

Pada hari Senin kemarin, 07 Juni 2021, Harian Republika memuat rubrik Konsultasi Syariah dengan tema Hukum Jual Beli Mushaf Al-Quran. Hal ini berkenaan dengan adanya pertanyaan dari Fajar yang bekerja sebagai agen perusahaan pencetak mushaf Al-Quran. Ia pun sekaligus menjual mushaf Al-Quran secara online dan offline. Yang membuatnya ragu adalah adanya informasi bahwa menjual mushaf Al-Quran itu tidak diperbolehkan, maka ia pun meminta pendapat tentang masalah tersebut.

Rubrik Konsultasi Syariah diasuh oleh Ustadz Dr. Oni Sahroni yang merupakan anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Beliau lalu menjawabnya dengan penjelasan panjang lebar. Menurut syariah, jual beli mushaf Al-Quran itu dibolehkan karena beberapa alasan. Pertama, hal itu berdasarkan pendapat mayoritas ahli fikih, di antaranya para ulama mazhab Malikiyah, mazhab Hanafiyah, mazhab Zhahiriyah, sebagian ulama Syafi’iyah, dan beberapa ulama seperti Hasan Al-Bashri dan Ikrimah.

Dalam kitab Al-Majmu’, An-Nawawi berkata, Al-Baihaqi meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Marwah bin Hakam bahwa keduanya ditanya perihal ketentuan jual beli mushaf. Keduanya menjawab, “Kami tidak melihat mushaf sebagai objek komoditas, tetapi apa yang engkau lakukan itu boleh dilakukan.” Malik bin Anas berkata, “Jual beli mushaf itu dibolehkan.”

Kedua, dengan diperjualbelikan, dapat memberikan manfaat nyata khususnya terhadap pendidikan Al-Quran. Dengan kehadiran perusahaan pencetak Al-Quran, dan para penjualnya, banyak masyarakat bisa memiliki mushaf hingga bisa membacanya, men-tadabburi-nya, memahaminya, dan mengamalkannya. Sebaliknya, jika distribusi dan jual beli Al-Quran itu tidak dibolehkan, banyak umat Islam tidak bisa memiliki mushaf Al-Quran. Sehingga, Al-Quran yang agung tersebut tidak bisa dibaca dan tidak dipahami isinya (saddu adz-dzari’ah).

 

Perkataan Ibnu Umar tersebut terkait dengan kondisi di mana jumlah mushaf sangat sedikit. Jika mushaf tidak diperjualbelikan, mushaf menjadi tidak ada. Saat ini dengan mushaf diperjualbelikan, banyak kebutuhan masyarakat Muslim terpenuhi. Maka, ‘illat yang ada dalam perkataan Ibnu Umar itu tidak ada. Sebagaimana kaidah, “Suatu hukum itu ditetapkan karena ada sebabnya. Saat ada ‘illat, maka ada hukum dan saat tidak ada ‘illat maka tidak ada hukum.

Keempat, sesungguhnya yang diperjualbelikan bukan ayat Al-Quran, melainan fisik Al-Quran yang terdiri atas kertas, jilid, dan komponen produksi lainnya yang memerlukan biaya yang tidak sedikit sebagaimana kebiasaan dan fakta. Pada saat yang sama, tidak setiap orang bisa memberikan mushaf Al-Quran dengan cuma-cuma. Seperti halnya ketentuan hukum sejenis dalam bab lain, yaitu seperti air yang tidak boleh diperjualbelikan, tetapi menjadi boleh saat yang menjadi komoditas bukan airnya, tetapi kemasan dan biaya produksinya.

Jika jual beli mushaf Al-Quran dibolehkan menurut penjelasan para sahabat, tabi’in, dan mayoritas ahli fikih tersebut, selanjutnya jual beli mushaf harus memenuhi (a) Ketentuan Fikih khususnya kriteria mushaf dan harganya sebagaimana Fatwa DSN MUI Nomor 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli. (b) Memenuhi akhlaqiyat (adab). Misalnya, yang bertugas di perusahaan menjilid mushaf dalam kondisi berwudhu. Saat Al-Quran selesai diproduksi diletakkan di tempatnya layaknya Al-Quran dan adab-adab lainnya harus diperhatikan.

Jika itu dilakukan, peran perusahaan dan penjual mushaf tidak hanya bisnis semata, tetapi telah memberikan kemudahan kepada masyarakat umum untuk memiliki Al-Quran, membacanya, men-tadabburi-nya memahami maknanya, mengamalkannya, dan bahkan mendakwahinya kepada pihak lain: Wallahu’alam.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *